Monday, January 26, 2009

Hukum Berhutang

Sejak zaman Rasulullah s.a.w. amalan berhutang sudah berlaku seperti kisah baginda berhutang seekor unta. Baginda membayar hutang untanya dengan unta lebih besar dan lebih baik. Sabda baginda bermaksud : Sebaik-baik kamu ialah orang yang melebihkan dan memperelokkan pembalasan hutangnya (menambah daripada apa yang diambil).

Islam menggariskan beberapa hukum tentang berhutang, ganjaran pemberi hutang serta cara membayar hutang. Rasulullah s.a.w. mengingatkan, orang berharta yang sengaja menangguhkan pembayaran hutangnya termasuk dalam kalangan orang yang zalim. Pada dasarnya Islam tidak menggalakkan umatnya berhutang. Hal ini dijelaskan dalam hadis daripada Uqbah Amir bermaksud : Jangan kalian membuat takut jiwa selepas ketenangannya. Mereka berkata : Apa itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda : Hutang.

Dijelaskan dalam sebuah hadis (Hadis Hasan) bermaksud : Hutang di segi pahala, lebih 2 pahala daripada sedekah. Diceritakan pula dalam kisah perjalanan Rasulullah s.a.w. bersama Jibril pada malam Israk Mikraj, tergantung di salah satu pintu syurga kata-kata bermaksud : Sedekah bersamaan 10 kali ganda, hutang bersamaan 18 kali ganda. Baginda bertanya kepada Jibril : Mengapa demikian? Jawab Jibril : Sedekah diberikan kepada seseorang, semua atau sebahagian. Sementara hutang, orang tidak akan berhutang kecuali terdesak.

Sabda Rasulullah s.a.w. dalam hadis diriwayatkan Muslim bermaksud : Allah akan menolong hambaNya selama hamba itu suka menolong saudaranya. Memberi hutang boleh bertukar menjadi wajib apabila orang yang memerlukan hutang itu amat terdesak, seperti ditimpa musibah,bencana dan kurang upaya. Allah berfirman dalam Surah Al-Maidah, ayat 2 bermaksud : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pencerobohan. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.

Rasulullah s.a.w. mengingatkan orang berhutang bahawa dia terus terikat dengan pembayaran balik segala hutangnya. Dia mesti menjelaskan hutang ketika hidup kerana apabila orang yang berhutang meninggal dunia, rohnya akan tergantung di antara langit dan bumi sehingga dijelaskan hutang itu. Bagi mereka yang tidak mampu melangsaikan hutang sehingga dia meninggal dunia, maka hutang itu menjadi tanggung-jawab Baitulmal seperti yang berlaku di zaman Rasulullah s.a.w.

Ada ulamak berpendapat, tanggung jawab membayar hutang berpindah kepada waris si-mati. Jika anaknya juga miskin, maka hutang berbalik kepada cara pertama iaitu diserahkan kepada kerajaan. Firman Allah dalam Surah Al Baqarah, ayat 280 bermaksud : Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesusahan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebahagian atau semua) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Rasulullah amat menggalakkan orang yang berhutang berusaha membayar lebih daripada hutangnya. Ia sebagai tanda bersyukur atas bantuan yang dihulurkan si pemberi hutang. Dalam keadaan biasa, hukum memberi hutang adalah sunat. Bagi orang yang berhutang, hukum membayar balik hutangnya adalah wajib apabila sampai tempoh. Jika belum sampai tempoh dijanjikan, pemberi hutang tidak boleh meminta hutangnya dibayar-balik.

Diceritakan oleh Anas : Seorang lelaki antara kami memberi hutang suatu barang kepada temannya. Kemudian orang yang berhutang itu memberi hadiah kepadanya. Hal itu diceritakan kepada Rasulullah. Jawab baginda : Apabila salah seorang antara kamu memberi hutang sesuatu, kemudian dia diberi hadiah atau dinaikkan ke atas kenderaan, maka jangan diterima hadiah itu, juga jangan dia naik kenderaan itu. Kecuali jika sudah biasa di antara mereka memberi hadiah iaitu sebelum terjadinya hutang tersebut. (Hadis riwayat Ibnu Majah). Rencana ini ditulis oleh : Wan Marzuki Wan Ramli (dipetik daripada Berita Harian).

4 comments:

  1. salam.. saudari boleh saya ambil info di atas untuk di share bersama rakan2 saya?info y sangat bagus...
    terima kasih

    ReplyDelete
  2. Sesungguhnya, semua ini telah kuperhatikan, semua ini telah kuperiksa, yakni bahwa orang-orang yang benar dan orang-orang yang berhikmat dan perbuatan-perbuatan mereka, baik kasih maupun kebencian, ada di tangan Allah; manusia tidak mengetahui apapun yang dihadapinya.
    Segala sesuatu sama bagi sekalian; nasib orang sama: baik orang yang benar maupun orang yang fasik, orang yang baik maupun orang yang jahat, orang yang tahir maupun orang yang najis, orang yang mempersembahkan korban maupun yang tidak mempersembahkan korban. Sebagaimana orang yang baik, begitu pula orang yang berdosa; sebagaimana orang yang bersumpah, begitu pula orang yang takut untuk bersumpah.
    Inilah yang celaka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari; nasib semua orang sama. Hati anak-anak manusiapun penuh dengan kejahatan, dan kebebalan ada dalam hati mereka seumur hidup, dan kemudian mereka menuju alam orang mati.

    Tetapi siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati.
    Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap.
    Baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari.
    Mari, makanlah rotimu dengan sukaria, dan minumlah anggurmu dengan hati yang senang, karena Allah sudah lama berkenan akan perbuatanmu.
    Biarlah selalu putih pakaianmu dan jangan tidak ada minyak di atas kepalamu.
    Nikmatilah hidup dengan isteri yang kaukasihi seumur hidupmu yang sia-sia, yang dikaruniakan TUHAN kepadamu di bawah matahari, karena itulah bahagianmu dalam hidup dan dalam usaha yang engkau lakukan dengan jerih payah di bawah matahari.
    Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuat tenaga, karena tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.
    Lagi aku melihat di bawah matahari bahwa kemenangan perlombaan bukan untuk yang cepat, dan keunggulan perjuangan bukan untuk yang kuat, juga roti bukan untuk yang berhikmat, kekayaan bukan untuk yang cerdas, dan karunia bukan untuk yang cerdik cendekia, karena waktu dan nasib dialami mereka semua.
    Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.

    ReplyDelete